Film disebut sebagai budaya modern. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, bentuk jamak dari buddhi, budi atau akal. Maka sebagai budaya tentu saja akan menyerap sejarah dan perubahan perilaku manusia yang kerumitannya teramat menarik. Sebagai budaya tentu menjadi sesuatu yang diwariskan secara turun temurun.
Para pendatang ke benua Amerika awalnya sama sekali tak begitu hirau dengan budaya penduduk asli benua amerika, karena para pendatang mempunyai budaya sendiri di negara asalnya yang diam-diam diklaim sebagai budaya yang lebih beradab. Budaya eropa yang mereka bawa memang hiruk pikuk dengan semangat kebebasan, sehingga progresifitasnya sangat hebat. Nafsu ekspansi yang disertai kehausan menemukan hal-hal baru kemudian membenbentuk bangsa ini menjadi bangsa kolonial, bangsa penjajah yang memperhatikan budaya penduduk asli sekedar untuk mengokohkan keberadaan mereka.
Meskipun demikian merekalah yang banyak memunculkan budaya modern. Salah satunya adalah film. Paling tidak pernyataan ini dibuktikan dengan film pendek di tahun 1888 yang dibuat oleh Louis Le Pince dengan judul Rhounday Garden Scene. Oleh Guiness Book of Records film pendek berdurasi kurang lebih 2,11 detik ini dinyatakan sebagai film tertua di dunia.
Seiring dengan semangat ekspansi mereka, globalisasi mengantarkan budaya modern ini memasuki bangsa-bangsa lain. Sadar tidak sadar film telah menjadi budaya dunia, kokoh dalam dunia hiburan yang gemerlap bersimbah uang. Bayangkan sebuah budaya berkembang dan muncul di semua bangsa dan suku. Walhasil film sebagai budaya modern menjadi sebuah penyedia data yang besar.
Film menjadi signifikan dalam menyampaikan pesan. Sangat efektif sebagai alat propaganda bahkan provokasi. Saat ini orang lebih suka menjadi penonton biarpun diam-diam sedang dikoyak kesadarannya hingga mendunia. Kita tahu bagaimana youtube menjadi situs paling populer dan diminati oleh seluruh dunia. Secara masif bangsa di bumi sebenarnya sedang terbangun menjadi satu bahasa.
Film menyajikan beragam budaya yang etikanya berbeda-beda. Sehingga ketika sebuah bangsa menganggap salah satu film negatif, secara bersamaan bangsa yang lain menganggap itu hal yang lumrah. Oleh karena itu tidak mudah mencegah atau mensensor sebuah film yang dianggap negatif. Apalagi di zaman teknologi internet saat ini.
Film negatif atau yang kita anggap membawa pengaruh negatif secara teknis jelas tidak bisa kita cegah. Ketika sebuah film diributkan mendapat pencegahan atau penyensoran yang tidak tahu malah jadi tahu, film itu jadi beken dan diakses semua orang. Memang miris kalau kita tidak sadar bahwa pikiran kita juga sedang negatif terhadap perkembangan dunia kita.
Kita lupa dunia kita dibangun oleh nilai-nilai positif dan negatif, oleh kebaikan dan keburukan. Keduanya tidak akan punya nilai sama sekali manakala yang lainnya tidak ada. Bukankah memang tuhan sengaja menghadirkan perbedan untuk saling mengenal? Tentu saja untuk saling menilai dengan seimbang.
Yang jelas sebagai budaya film bukan kambing hitam.
Comments
Post a Comment