Tidak tahu peresis apakah sebelum Neil Amstrong mendarat di bulan
sudah ada film yang menceritakan manusia bisa hinggap di bulan.
Yang jelas sekarang ini Film yang bertema mendarat di bulan tidak banyak lagi,
tergantikan dengan tema mendarat di mars. Film manusia mendarat di mars
sekarang sudah berseliweran dengan beragam baju astronot. Unik-unik dan
kreatif, tentu saja dibumbui kisah asmara. Sebut saja film Red Planet, Ghost of
Mars, Doom, Watchmen, John Carter, film animasinya Mars Need Mom dan banyak
lagi. Kita sudah bisa membayangkan mars secara detil bahkan bercerita mengenai
kompleksitas masalah para pendaratnya, padahal manusia belum bisa menginjakkan
kakinya di mars.
Soal mendarat di mars urusan negara maju
Yang menarik dalam kenyataannya untuk mendarat di mars Amerika punya saingan baru. Bukan hanya Uni Soviet atau Rusia tapi Uni Emirat Arab (UEA) dan China telah mendaratkan wahana penelitinya di mars. Wahana milik UEA bernama Hope yang pertama mencapai mars kemudian disusul wahan bernama Tianwen-1 milik China. Baru kemudian wahana Perseverance milik NASA Amerika Serikat.
Mungkin karena mereka
negara maju sehingga sah-sah saja mengklaim sudah mencapai mars, karena mereka
yang mengerti ilmu serta tehniknya. Mungkin mereka berfikir negara-negara di
belakang mereka tak akan sibuk membuat penelitian yang sama atau malah
membuktikan pencapaian mereka di mars. Jangan lupa, pendaratan dibulan Apolo 11 milik Amerika tanggal 16 Juli 1969, oleh 5 peresen masyarakat Amerika sendiri dianggap kebohongan atau film fiksi.
Film fiksi dalam hal ini tidak melulu sebuah khayalan tapi seperti
cita-cita yang tergambar di bawah sadar. Dia menjadi spirit untuk menjelajahi
hal-hal baru. Semangat mengungkap hal yang tersembunyi. Bahkan
tidak jarang mengorbankan etika, membabi buta dalam gegap gempita
kebebasan bereksfresi. Globalisasi telah membuat seni modern ini liar meraksuki
masyarakat kelas manapun.
Oleh karena itu siap tidak siap masyarakat harus menerima
transmisi budaya baru akibat globalisasi yang meluluhlantakkan dikotomi barat
dan timur. Sebuah film selain menampilkan ide-ide dan tehnik baru
sinematografi, membawa pula kekerasan dan seks vulgar menjadi menu yang
siap saji. Kekuatan film dalam menularkan sebuah pemahaman begitu kuat karena
energinya didorong pencapaian materi yang berlimpah.
Kendati begitu banyak film yang tidak melulu berorientasi pendapatan. Sebut saja misalnya film drama religi War Room, film ini masuk box office di tahun 2015. Ternyata masyarakat dunia mau juga membeli karcis bioskop untuk film yang tidak dimanipulatif oleh hingar bingar adegan action. Film ini bahkan berani menggali peperangan dalam diri sendiri. Sehebat apapun perang di wilayah itu, tak pernah menarik jadi tontonan.
Sebuah film selalu saja menginspirasi, sebuah pengingat yang menghibur dan tak bisa dibendung. Sebuah film bakal dibela sebagai ekspresi seni yang lepas dari tudingan moral. Kalau kita naif dan baperan malah bakal dilumat habis. Membungkam sebuah film hanya akan mengulang kejadian ketika sebagian kita menolak globalisasi. Alih-alih globalisasi berhenti, teriakan menolak malah pingsan. Kita lahir dalam kondisi penuh dengan fiksi dan globalisasi akan kehilangan jiwanya untuk membentuk dunia baru tanpa fiksi.
Comments
Post a Comment